Penyelenggaraan UKA, lanjutnya, sebenarnya tidak sesuai dengan Pasal 12 PP tentang Guru. Uji kompetensi dalam sertifikasi sesungguhnya yang dimaksud adalah dengan portofolio serta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).
“PGRI sangat mendukung setiap usaha untuk meningkatkan kualitas guru tetapi jangan sampai atas alasan peningkatan kualitas, kebijakan itu melanggar aturan dan menyiksa guru. Sebab, guru saat ini adalah produk lembaga pendidikan guru yang kualitasnya belum baik dan setelah kerja pun pembinaannya sangat jelek,” kata Sulistiyo. UKA juga bisa menghilangkan hak asasi guru yang berusia di atas 50 tahun, masa kerja di atas 20 tahun, atau golongan ruangnya telah mencapai IV/a jika tidak lulus UKA.
Padahal mereka seharusnya bisa langsung mengikuti sertifikasi (sesuai urutan, NUPTK online), walaupun belum S-1.
Menurut Sulistiyo, penentuan standar nasional itu tak jelas dasarnya, baik secara akademis maupun realitas kondisi guru. Akibatnya, banyak yang tidak lulus. Di sisi lain, secara psikologis dan kemampuan akademis, guru-guru usia lanjut tentu berbeda dari guru-guru muda. Pada kondisi itulah sesungguhnya pemerintah dan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) sebagai penyelenggara sertifikasi bisa melakukan intervensi. “Jangan sampai guru stres karena jika guru stres yang rugi para peserta didik, bukan para pejabat di Senayan, bukan pula para rektor LPTK saat ini,” kata Sulistiyo.
Di sisi lain, dia tetap meminta para guru belajar mengembangkan kompetensi, meningkatkan kinerja, lebih-lebih yang telah menerima tunjangan profesi. “Guru harus malu jika sudah menerima tunjangan profesi kerjanya tidak semakin baik. Kemampuan dan keterampilannya juga tidak meningkat. Sisihkan sebagian tunjangan itu untuk kegiatan peningkaan kualitas diri,” imbau Sulistiyo.
Sumber : Suara Merdeka
0 komentar:
Posting Komentar